Cahaya Pagi
Setiap pagi atau setidaknya pagi yang tidak terlalu buru-buru kami menuju taman depan rumah.
Matahari belum belum tinggi tapi sudah cukup hangat.
Aku panggil anak-anak:
“Ayo, berjemur sinar matahari dulu sebentar…”
Kadang langsung lari keluar. Kadang jawab, “Nggak mau, terlalu silau.”
Siapa Duduk, Siapa Lari
Nang sulung biasanya butuh waktu.
Dia akan duduk sebentar, lalu berdiri, lalu duduk lagi, lalu jalan muter.
Tapi akhirnya dia akan diam. Di pojokan. Matanya nyipit. Tangannya nutupin dahi.
“Silau papiiiiip!” ujarnya.
Nang bungsu kebalikannya.
Langsung buka baju sendiri. “Aku jadi telur digoreng!” katanya.
Tiduran. Guling-guling. Ketawa sendiri.
Tapi lima menit kemudian: “Panas!” dan kabur masuk rumah.
Refleksi
Biasanya kami duduk sekitar 20–30 menit. Kadang gak tenang-tenang amat. Kadang cuma sebentar.
Tapi waktu itu bukan soal checklist melainkan ruang kecil di mana kami semua berhenti sejenak.
Bukan soal vitamin. Tapi soal hadir.
Duduk. Diam. Saling melihat di bawah cahaya yang sama.
Dan di pagi-pagi seperti itu…
aku sering merasa: ini cukup.
🌤️ Bukan mataharinya yang menyembuhkan. Tapi waktu yang kami beri untuk diam bersamanya.
Tulisan ini bagian dari #Langkah2Asa dokumentasi kecil tentang tumbuh bersama, satu hari, satu harapan.