Kayuhan Penuh 🚴
Lusa kemarin nang sulung (anak lanang sulung) akhirnya bisa mengayuh sepeda roda tiga dengan penuh, bukan hanya setengah-setengah seperti biasanya.
Biasanya, dia cuma mendorong sekali sedikit lalu berhenti. Kadang hanya pura-pura mengayuh. berharap sepedanya tetap jalan melaju sendiri.
Bahkan sebelumnya, dia sempat nggak mau menyentuh sepedanya sama sekali.
Aku sempat menyemangati. Mendorong secara fisik, mental maupun emosi. Bahkan memaksa sedikit. Tapi dia malah menjauh.
Sejak itu aku memutuskan lebih banyak diam, tidak menyinggung sepeda. Sepeda kado dari nenek kakeknya, sekaligus bentuk PR nyata dari tantenya yang berprofesi sebagai terapis, nganggur begitu saja di pojok ruangan.
Namun aku tetap menaruh sepedanya setiap hari di tempat biasa.
Nggak aku dorong. Tapi aku siapkan.
Dan suatu waktu… dia menghampiri sendiri. Duduk sendiri. Dan mengayuh sendiri. Hingga beberapa waktu berlalu. Tiga… empat… lima kayuhan penuh. Terus maju. Stabil. Dengan tenaga sendiri.
Yang membuat aku cukup tertegun dengan momen ini adalah:
Anak lanang sulungku ini, jalan dan naik tangga masih butuh perjuangan. Dia masih terapi seminggu 3 kali. Otot kakinya memang lemah sejak dulu. Jadi saat aku lihat dia bisa mengayuh sepeda roda tiga dengan penuh, aku paham banget ini bukan cuma soal koordinasi motorik.
Ini tanda bahwa tubuhnya mulai menguat, pun kemauannya mulai tumbuh menguat dari dalam.
Senyum Lebar 😊
Nak sulung tersenyum lebar.
Dia bilang, “Aku bisa! Papip lihat, papip lihaat!” sambil menoleh ke arahku, ayahnya, dengan wajah penuh bangga. Dia pamer. Nampak bahagia sekali.
Dan aku? Tersenyum lebaaaar pula.
Aku sebenarnya pengen loncat. Ketawa. Nangis.
Tapi aku menahan rasa dalam hati.
Jujur aku hepiii sekali. Dan lega. Dan bangga.
Mungkin bagi orang lain ini momen kecil. Tapi buatku, ini kayak lulus ujian tanpa tahu aku sedang ikut ujian.
Dan menariknya, nang bungsu sebenarnya justru udah lama suka naik sepeda, muter dari ruang tengah ke dapur.
Bisa jadi nang sulung sebenarnya memperhatikan adiknya. Dan akhirnya tertarik.
Mungkin ini juga pengaruh dari lihat adiknya duluan yang lancar.
Tapi bisa juga karena dia memang sudah siap — fisik dan mental.
Aku nggak tahu pasti. Tapi aku bersyukur.
Sebuah Kepercayaan ✨
Hari ini bukan cuma tentang sepeda.
Bukan cuma soal koordinasi motorik.
Tapi tentang kepercayaan, ruang, waktu dan satu hal penting:
Anak-anak akan bergerak kalau mereka siap.
Dan tugas kita: nggak memaksa… tapi nggak pergi. Selalu ada dan siap, sampai mereka siap.
Aku cuma menaruh sepedanya setiap hari di situ.
Nggak aku paksa. Nggak aku dorong. Tapi juga nggak aku hilangkan.
Dan ketika dia siap, dia datang sendiri.
Hari ini nang sulung mengayuh penuh.
Dengan otot yang dulu lemah.
Dengan keyakinan yang dulu belum ada.
Hari ini dia mengayuh penuh.
Mungkin masih pelan.
Tapi itu melangkah maju, bukan mundur.
Dan itu cukup.
Tulisan ini bagian dari #Langkah2Asa — dokumentasi kecil tentang tumbuh bersama, satu hari, satu harapan.