Halaman yang Selalu Diminta
Sudah beberapa minggu ini, kami punya rutinitas malam:
baca buku sebelum tidur.
Pilihannya boleh siapa aja, kadang nang sulung, kadang nang bungsu.
Kita memiliki banyak opsi buku di rumah.
Tapi ujung-ujungnya… buku itu lagi, halaman itu lagi.
“Yang suara-apa-itu, ya!”
“Yang fnurgle yaaa!”
“Yang buku nyari sapi…”
Mereka udah hafal urutannya. Tapi tetap minta dibacain ulang.
Mungkin karena mereka suka.
Mungkin karena itu saat paling hening sekaligus super rame dalam pikiran dalam satu hari kami.
Peluk & Tertawa
Malam ini giliran nang sulung yang duduk paling depan.
Tangannya pegang buku erat. Tapi matanya udah setengah turun.
Aku mulai bacain, kalimat demi kalimat, pelan, sambil sesekali ditambah dramatisasi.
Tiba-tiba nang sulung berteriak paling keras waktu sampai ke halaman suara pesawat terbang wuzzzz.
Nang bungsu yang awalnya cuek langsung ikut duduk dekat.
Nempel. Lalu peluk dari samping.
Ketawa… peluk… lalu diam.
Tiba-tiba aku sadar: ini mungkin bukan soal ceritanya.
Tapi soal momen di antara halaman,
waktu ketika semua berhenti dan hanya suara kami yang jalan.
Refleksi
Bukan semua malam bisa seperti ini.
Kadang terlalu capek. Kadang ada yang nangis duluan.
Kadang ada yang bilang, “nggak mau buku!”
Tapi malam ini…
semua terasa seperti cerita yang sedang berjalan sendiri.
Mungkin yang mereka tunggu bukan akhir ceritanya. Tapi siapa yang membacakan.
Dan buatku, itu cukup.
📚 Buku bisa selesai dibaca. Tapi momen-momen ini, semoga masih tinggal lama.
Tulisan ini bagian dari #Langkah2Asa, dokumentasi kecil tentang tumbuh bersama, satu hari, satu harapan.